Awal Tahun Rentetan Masalah Menghadang Freeport Indonesia

Gabungan karyawan kontrak dan privatisasi PT Freeport Indonesia yang tergabung di dalam Gerakan Solidaritas Peduli Freeport (GSPF) akhirnya menuntut kejelasan kelangsungan hidup jika pemerintah masih ngotot melarang ekspor bagi Freeport.(ANTARA FOTO/Vembri Waluyas)
Loading...

Menitone.com – Awal tahun ini merupakan masa-masa yang memberatkan bagi PT Freeport Indonesia. Perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut dihadapkan pada berbagai rentetan masalah pasca pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 6 Tahun 2017, yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017.

Peraturan tersebut mengatakan, izin ekspor konsentrat akan dibuka jika status izin usaha Kontrak Karya (KK) berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Dengan demikian, Freeport tidak bisa melakukan ekspor karena statusnya masih berbentuk KK.

Pada 26 Januari 2017, perusahaan tersebut akhirnya mengajukan penggantian izin usaha menjadi IUPK agar bisa melakukan ekspor.

Namun, Freeport tak begitu saja mau terima dengan permintaan perubahan status tersebut. Perusahaan asal Amerika Serikat tersebut menginginkan kebijakan perpajakan yang sama dengan yang tercantum di dalam kontrak (nail-down). Mereka juga enggan mengubah kepastian fiskal sesuai ketentuan yang berlaku (prevailing).

Loading...

Pasalnya, jika ketentuan pajak ini diubah, maka kelangsungan investasi Freeport ke depannya akan terganggu.

“PTFI akan mengubah KK menjadi IUPK dengan syarat IUPK disertai dengan suatu perjanjian stabilitas investasi dengan tingkat kepastian fiskal dan hukum yang sama dengan KK,” ujar Juru Bicara Freeport, Riza Pratama.

Di sisi lain, pemerintah tetap kukuh mempertahankan kebijakan fiskal bersifat prevailing. Gara-gara hal tersebut, proses IUPK Freeport tak kunjung selesai, sehingga perusahaan tak bisa ekspor.

Secara mengejutkan, induk usaha Freeport Indonesia, Freeport-McMoran Inc mengatakan akan mengurangi tenaga kerja. Mereka juga akan menahan investasi pertambangan bawah tanah dan mengurangi produksi menjadi 40 persen dari kapasitas total agar sesuai dengan kapasitas yang dimiliki PT Smelting jika pemerintah tidak segera memberi kepastian ihwal ekspor konsentrat.

Akhirnya, pemerintah pun memberikan status IUPK kepada Freeport tanggal 10 Februari 2017 yang lalu. Sayangnya, pemberian status IUPK ini dirasa masih menggantung karena belum ada kesepakatan dari Freeport terkait ketentuan perpajakan yang ditempuh.

Pada saat itu, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot mengatakan, ketentuan fiskal Freeport masih bisa dibicarakan usai status IUPK diberikan. “Saya belum bilang Freeport setuju atau tidak, biar mereka beri tanggapan dulu,” tutur Bambang kala itu.

Meski sudah mengantongi status IUPK, nyatanya perusahaan masih tidak bisa melakukan ekspor karena Freeport masih kukuh akan kebijakan fiskal bersifat nail-down.

“Ekspor tetap dilarang sebagai akibat dari peraturan-peraturan yang diterbitkan di Januari 2017, di mana hal itu bertentangan dengan hak-hak Freeport dalam kontrak dengan pemerintah yang mengikat secara hukum,” tambah Riza.

Akibat pelarangan ekspor selama sebulan, operasional perusahaan jadi ikut terganggu. Per 10 Februari 2017, pabrik pengolahan telah dihentikan. Hasilnya, 33 ribu tenaga kerja Freeport terancam dirumahkan.

Gabungan karyawan kontrak dan privatisasi PT Freeport Indonesia yang tergabung di dalam Gerakan Solidaritas Peduli Freeport (GSPF) akhirnya menuntut kejelasan kelangsungan hidup jika pemerintah masih ngotot melarang ekspor bagi Freeport.

Bahkan, mereka menuntut pemerintah untuk menanggung hidup 132 ribu pegawai beserta keluarganya jika nanti mata pencaharian mereka hilang.

Para pekerja pun akhirnya berunjuk rasa di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Mimika dan melakukan audiensi ke kantor Bupati. Tujuannya, untuk membantu mereka meyakinkan pemerintah pusat mempertimbangkan peraturan yang dibuat.

“Kami bukannya anti hilirisasi, tapi pemerintah seharusnya membuat peraturan yang tidak membebani satu kelompok tertentu. Kami beri tenggat waktu satu minggu bagi pemerintah untuk merespons permintaan kami. Jika pemerintah tidak serius, kami akan menutup perusahaan dan bangunan administrasi di Papua,” ujar perwakilan GSPF Virgo Henry Solossa, kemarin.

Drama ekspor Freeport sepertinya selesai setelah pemerintah memberikan rekomendasi ekspor sebesar 1,11 juta Wet Metric Ton (WMT) konsentrat tembaga berdasarkan Surat Persetujuan Nomor 352/30/DJB/2017 tertanggal 17 Februari 2017. Ekspor tersebut berlaku selama setahun dan kedaluwarsa 16 Februari 2018 mendatang.

Nyatanya, polemik Freeport memasuki babak baru setelah Presiden Direktur Freeport Chappy Hakim dikabarkan mundur dari jabatannya. Kendati demikian, sampai saat ini belum ada pernyataan resmi dari Chappy terkait hal tersebut.

[cnn/cnn]

Loading...

Comment

Silahkan nonaktifkan adblock anda untuk membaca konten kami.
Segarkan