News  

Menag Minta Jangan Undang Penceramah Provokatif

Menteri Lukman Hakim Saifuddin.
Loading...

JAKARTA – Seluruh unsur masyarakat terutama kepala Kanwil Kemenag Provinsi di seluruh Indonesia diminta untuk lebih proaktif dalam menjaga suasana damai dan kondusif di tahun politik, dengan tidak menjadikan agama sebagai alat politik praktis.

Melansir laman Rimanews, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin juga meminta jajaran Kemenag di seluruh Indonesia bisa mengajak para pengelola rumah ibadah untuk menghadirkan para penceramah agama yang tidak provokatif.

“Di Indonesia, banyak tokoh agama yang memiliki wawasan keagamaan mendalam dan moderat. Mereka perlu dihadirkan untuk memberikan pencerahan tentang moderasi agama,” kata Menag Lukman dikutip laman kemenag.go.id yang dipantau dari Jakarta, Jumat (20/04/2018).

Rumah ibadah, kata dia, juga harus senantiasa terpelihara kesuciannya dari ajang politik praktis pragmatis. Menurut dia, agama jangan dijadikan alat politik yang mengadudomba atau memicu gesekan di tengah masyarakat.

Loading...

Menag mengatakan bahwa nilai agama justru harus dijadikan sebagai acuan agar masyarakat tetap bersatu dalam keragaman bukan memecah belahnya.

Khusus di tempat ibadah, dia mengajak tidak diisi dengan ceramah-ceramah bermateri kampanye politik praktis berikut konten penghinaan, penodaan, pelecehan terhadap pandangan dan keyakinan ibadah/antarumat beragama.

“Materi ceramah agar juga tidak mengandung provokasi untuk melakukan tindakan diskriminatif, intimidatif, anarkis dan destruktif,” kata dia.

Ekstremisme beragama
Sebelumnya, Lukman menyatakan paham keberagamaan di Indonesia saat ini dihadapkan pada tantangan yang ekstrem, baik kanan maupun kiri. Padahal, keagamaan yang sehat adalah yang pertengahan, atau moderat.

“Moderasi itu artinya moderat lawan dari ekstrem, kita tidak ingin di republik tercinta ini ada paham apalagi pengamalan agama yang ekstrem atau berlebihan,” ujar Menag saat hadir pada kegiatan Capacity Building yang digelar oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agamadi Cisarua Bogor, beberapa waktu lalu.

Ia menuturkan bahwa semua agama yang ada saat ini dipahami melalui kitab suci karena semua agama rujukan utamanya adalah kitab suci.

“Kitab suci itu adalah teks, selain kitab suci, Tuhan juga menurunkan orang-orang suci, para teladan (role model), contoh nilai-nilai kebajikan melalui para nabi dan santo,” ujar Menag.

“Tapi karena sekarang kita tidak hidup bersama mereka, cara kita memahami orang-orang suci itu juga dari riwayat-riwayat mereka dan itu adalah teks. Jadi teks itulah satu-satunya tempat kita memahami esensi ajaran agama,” imbuh Menag di hadapan 431 peserta.

Menag menambahkan bahwa dalam memahami teks agama saat ini terjadi kecenderungan terpolarisasinya pemeluk agama dalam dua kutub ekstrem.

“Satu kutub terlalu mendewakan teks tanpa menghiraukan sama sekali kemampuan akal/ nalar. Apa yang tertulis di teks itulah yang disimpulkan, dipahami lalu kemudian diamalkan tanpa memahami konteks. Jadi betul-betul bertumpu kepada teks saja. Beberapa kalangan menyebut kutub ini sebagai golongan konservatif,” ujar Menag.

“Kutub ekstrem yang lain, sebaliknya, terlalu mendewakan akal pikiran sehingga mengabaikan teks itu sendiri. Liberalisme, terlalu bebas dalam memahami nilai-nilai ajaran agama sehingga kemudian mengabaikan bahkan meninggalkan teks. Ini juga sama ekstremnya, sama berbahayanya,” imbuhnya.

Oleh karena itu, salah satu misi Kementerian Agama adalah untuk bagaimana agama yang dipahami dan diamalkan oleh seluruh bangsa dengan paham dan bentuk pengamalan yang moderat. “Agar mereka yang berada di dua kutub itu kembali ke tengah-tengah, itulah moderat,” ujar Menag.

Selain moderasi agama, Menag juga mengatakan bahwa seluruh program Kementerian Agama juga ditujukan untuk mencapai kesadaran pada umat beragama supaya paham agama yang dianutnya tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan, demikian juga sebaliknya.***

[rnc/rnc]

Loading...

Comment

Silahkan nonaktifkan adblock anda untuk membaca konten kami.
Segarkan