Opini  

Korupsi terhadap Sistem Politik di Papua  

Jeckson Ikomou Ketua GNPK-RI Prov. Papua
Loading...

JAYAPURA – Sejak dicetuskannya Undang-undang 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus, frase “korupsi politik” dimunculkan seiring dengan didakwakannya Maikhel Kambuaya dan David Manibui yang notabene Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan pemegang saham mayoritas PT. Bintuni Energi Persada (BEP) . Korupsi politik ini pun tentu mendanai partai-partai politik dan/atau kegiatan politik praktis di Papua.

Secara etimologi kata politik berasal dari bahasa Yunani, polis yang berarti “kota” atau “negara kota”. Kata polismemiliki kata-kata turunan seperti polites yang berarti warga negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan.

Politik didasarkan pada pendapat Aristoteles yang menyatakan bahwa, “Setiap polis atau negara adalah asosiasi. Politik dimaksudkan sebagai kumpulan manusia yang hidup teratur dan memilki tujuan yang sama dalam mencapai tujuannya, dipelajari oleh ilmu politik.

Objek dari politik yaitu manusia sebagai makhluk sosial dan sifat individual dari manusia itu sendiri. Sifat-sifat ingin menguasai, menonjolkan diri, mendapatkan pengakuan, dan ingin selamanya menjadi pemenang merupakan contoh sifat-sifat manusia sebagai insan politik. Sifat ini mendorong persaingan antarmanusia. Maka, tak salah pula bila kemudian politik didefinisikan sebagai alat untuk meraih kekuasaan.

Loading...

Bakda reformasi, praktik korupsi di Indonesia mengalami pergeseran pola. Pada masa otonomi khusus, korupsi bisa dibilang tersentralisasi. Korupsi yang tersentralisasi ini tak terlepas dari pengelolaan kekuasaan yang juga tersentralisasi. Menurut Eep Saefulloh Fatah, pemerintah Orde Baru memilih model pengelolaan kekuasaan tersebut bertujuan untuk menyokong stabilisasi ekonomi dan politik secara tepat.

Stabilisasi politik ini kemudian mengarah pada pembangunan ekonomi sebagai komando. Sayangnya, tujuan itu tercemar dengan praktik KKN yang merajalela. Lebih jauh, praktik KKN di zaman Otonomi khusus adalah relasi antara bisnis dan politik. Salah satu pendekatannya, menurut Andrew Macintyre, adalah bersifat patron-klien.

Dari hubungan tersebut, keuntungan dan kestimewaan diperoleh pebisnis sebagai klien dari pemerintah. Kebijakan-kebijakan Otonomi khusus terkait ekonomi, perizinan, sumber daya alam, hanya menguntungkan segelintir pebisnis saja di Papua. Nah, menyejukkannya, sifat korupsi di zaman Otonomi khusus lebih banyak di dana-dana non-budgeter, bukan di APBN.

Belum lagi sejumlah perusahan di Papua yang beroperasi tanpa analisis dampak lingkungan juga izin usaha pertambangan. Diluar prosedur melakukan penambangan tersebut, pajak yang mestinya masuk ke kas Negara namun tak sesuai prosedur hukum di Indonesia.

Salah satu hal yang menandai era reformasi kemudian adalah demokratisasi dan desentralisasi. Demokratisasi memiliki tujuan agar sistem politik dapat lebih terbuka dan demokratis. Sedangkan desentralisasi memiliki tujuan utama untuk mencegah adanya kekuasaan yang tersentralisasi yang pada akhirnya akan korup seperti halnya ucapan Lord Acton, politics tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.

Nyatanya, niat mulia untuk mencegah agar korupsi tidak terjadi lagi seperti pada zaman Seoharto itu belum dapat terwujud. Desentralisasi justru membagi wilayah korupsi ke daerah-daerah dan demokratisasi menimbulkan biaya politik yang besar (seperti yang diungkapkan Gamawan Fauzi dalam disertasinya) yang pada akhirnya menjadi salah satu motif korupsi.

Sampai saat ini, ada lebih dari 325 Kepala Daerah yang tersangkut kasus korupsi, baik masih menjadi tersangka maupun sudah menjadi terpidana. Masalah utamanya adalah undang-undang mengenai keuangan daerah itu sendiri. Dalam hal ini, saya mencatat kekuasaan seorang kepala daerah terhadap keuangan daerah yang begitu besarlah yang menjadi daya tarik seseorang ingin menjadi kepala daerah.

Tercatat, sejumlah anggota dewan, mantan menteri, hingga mantan Ketua MPR berlomba-lomba ingin menjadi kepala daerah. Keuangan Daerah menjadi rawan penyalahgunaan oleh Kepala Daerah seperti sebuah putusan MK atas kasus sengketa pilkada Sumatera Selatan yang lalu.

Dalam putusan yang mengabulkan sebagian tuntutan Herman Deru itu, Alex Noerdin dinyatakan telah menyalahgunakan dana bansos (57) untuk kepentingan kampanye sehingga pilkada harus diulang di beberapa kabupaten.

Akun 57 ini memang menjadi dana paling politis terutama di daerah. Nah, anehnya, meski sudah menjadi putusan MK yang final dan mengikat, penyalahgunaan penyaluran dana itu tidak cukup menjadi dasar pidana bagi Alex Noerdin yang sampai kini masih menjabat sebagai Gubernur Sumatra Selatan.

Upaya untuk mencegah pola korupsi Otonomi khusus itu pun makin keteteran mana kala pola relasi bisnis dan politik pun terjadi di masa reformasi. Bahkan, pola korupsi di masa sebelumnya otsus  bisa dikatakan lebih parah karena dimulai dari hulunya, yakni dari informasi anggaran dimulai.

Isunya, informasi akan adanya proyek A atau proyek B pada tahun anggaran berikutnya sudah dijual ke rekanan agar ketika lelang dilakukan, rekanan A atau rekanan B akan mendapatkannya karena memanfaatkan informasi tersebut.

Istilah korupsi politik dalam awal tulisan ini pun akhirnya menjadi politik korupsi. Politik korupsi menjadi wacana aktual Papua dengan menempatkan kerja politik tidak bisa dilepaskan dari langkah-langkah korupsi untuk mengeruk uang rakyat.

Politik yang seharusnya sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahtaraan rakyat dan sebagai sarana untuk memberantas tindak pidana korupsi, malah dibuat sebagai sarana untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab tanpa memikirkan masyarakat kecil.

  1. Menguatnya Plutokrasi

Korupsi yang sudah menyandera pemerintahan pada akhirnya akan menghasilkan konsekuensi menguatnya plutokrasi (sistem politik yang dikuasai oleh pemilik modal/kapitalis) karena sebagian orang atau perusahaan besar melakukan ‘transaksi’ dengan pemerintah, sehingga pada suatu saat merekalah yang mengendalikan dan menjadi penguasa di negeri ini.

Perusahaan-perusahaan besar ternyata juga ada hubungannya dengan partai-partai yang ada di kancah perpolitikan negeri ini, bahkan beberapa pengusaha besar menjadi ketua sebuah partai politik. Tak urung antara kepentingan partai dengan kepentingan perusahaan menjadi sangat ambigu.

Perusahaan-perusahaan tersebut menguasai berbagai hajat hidup orang banyak, seperti bahan bakar dan energi, bahan makanan dasar dan olahan, transportasi, perumahan, keuangan dan perbankan, bahkan media massa pada saat ini setiap stasiun televisi dikuasai oleh oligarki tersebut. Kondisi ini membuat informasi yang disebarluaskan selalu mempunyai tendensi politik tertentu dan ini bisa memecah belah rakyat karena begitu biasnya informasi.

  1. Biaya Politik yang Tinggi

Lingkaran setan ini akan terus berjalan dan berdampak pada kian meningkatnya biaya politik. Demokratisasi yang dijankan tanpa adanya pendidikan politik yang baik dari pemerintah kepada masyarakat atau pun dari para pelaku politik praktis akan menghasilkan penyelenggaraan demokrasi yang money politics. Suara-suara dapat diperjualbelikan dan suara-suara itu makin lama makin mahal.

  1. Munculnya Pemimpin yang Korup

Adalah hukum rimba yang mengatakan masukan sebanding dengan keluaran. Kondisi politik yang carut marut dan cenderung sangat koruptif menghasilkan masyarakat yang tidak demokratis. Perilaku koruptif dan tindak korupsi dilakukan dari tingkat yang paling bawah sampai dengan pucuk pimpinan.

Konstituen didapatkan dan berjalan karena adanya suap yang diberikan oleh calon-calon pemimpin partai, bukan karena simpati atau percaya terhadap kemampuan dan kepemimpinannya. Hubungan transaksional sudah berjalan dari hulu yang pada akhirnya pun memunculkan pemimpin yang korup juga karena proses yang dilakukan bersifat transaksional.

Masyarakat juga seolah-olah digiring untuk memilih pemimpin yang korup dan diberikan mimpi-mimpi dan janji akan kesejahteraan yang menjadi dambaan rakyat sekaligus menerima suap dari calon pemimpin tersebut.

  1. Fungsi Pemerintahan Mandul

Korupsi telah mengikis banyak kemampuan pemerintah untuk melakukan fungsi yang seharusnya. Dampak korupsi yang menghambat berjalannya fungsi pemerintahan, sebagai pengampu kebijakan negara, dapat dijelaskan sebagai berikut:Pertama, Korupsi menghambat peran negara dalam pengaturan alokasi anggaran; Kedua, Korupsi menghambat negara melakukan pemerataan akses dan asset; ketiga, Korupsi juga memperlemah peran pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi dan politik.

Pemerintahan ayang kuasai dengan hasil politik uang (money politik) tentu akan pincang dalam menjalankan roda birokrasi di Papua. Di Tanah Papua terlihat hal demikian. Kepercayaan public terhadapa pemerintahan mulai berkurang.

  1. Hilangnya Kepercayaan Masyarakat kepada Lembaga Negara

Korupsi yang terjadi pada lembaga-lembaga negara seperti yang terjadi di Papua dan marak diberitakan di berbagai media massa mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut hilang. Akhir-akhir ini masyarakat kita banyak menerima informasi melalui berbagai media tentang bobroknya penegakan hukum di Papua. Mulai kasus Bupati Thomas Ondy, yang belum dihentikan walaupun sudah ditetapkan sebaga tersangka merugikan uang Negara Rp. 84 Milyard Rupiah.

Berita yang paling akhir adalah Kasus korupsi dana beasiswa mahasiswa Papua. Sedang dalam proses di bereskrip tipikor di mabes polri Jakarta.

Sungguh situasi yang paradoks, padahal seharusnya suatu sistem hukum diciptakan oleh otoritas pemerintah atas dasar kepercayaan masyarakat, dengan harapan bahwa melalui kedaulatan pemerintah (government sovereignty), hak-hak mereka dapat dilindungi. Dengan demikian, pemerintah menciptakan keteraturan dalam kehidupan berbangsa serta bernegara. Sudah menjadi tugas dari lembaga-lembaga tersebut untuk melaksanakannya, bukan sebaliknya.

  1. Hilangnya Kepercayaan Publik pada Demokrasi

Demokrasi yang diterapkan di Indonesia sedang menghadapi cobaan berat yakni berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya tindak korupsi besar-besaran yang dilakukan oleh petinggi pemerintah, legislatif atau petinggi partai politik. Kondisi ini mengakibatkan berkurangnya bahkan hilangnya kepercayaan publik terhadap pemerintahan yang sedang berjalan.

Masyarakat akan semakin apatis dengan apa yang dilakukan dan diputuskan oleh pemerintah. Apatisme yang terjadi ini seakan memisahkan antara masyarakat dan pemerintah yang akan terkesan berjalan sendiri-sendiri. Jika rakyat Papua menyatakan siap merdeka, wajar saja karena penegak hukum di Indonesia sedang melindung para koruptor. Sebenarnya, Hal ini benar-benar harus diatasi dengan kepemimpinan yang baik, jujur, bersih dan adil. Sistem demokrasi yang dijalankan di Papua masih sangat muda, walaupun kelihatannya stabil namun menyimpan berbagai kerentanan.

Tersebarnya kekuasaan di tangan banyak orang ternyata telah dijadikan peluang bagi merajalelanya penyuapan. Reformasi yang dilakukan tanpa landasan hukum yang kuat justru melibatkan pembukaan sejumlah lokus ekonomi bagi penyuapan, yang dalam praktiknya melibatkan para broker bahkan menumbuhkan mafia.

Di Papua, jika rakyat papua menggelar aksi demo damai selalu dihadang aparat kepolisin tanpa menghargai hak demokrasi sebagai warga Negara. Penegak hukum di Indonesia telah melecehkan hak asasi manusia.

  1. Hancurnya Kedaulatan Rakyat

Dengan semakin jelasnya plutokrasi yang terjadi, kekayaan negara ini hanya dinikmati oleh sekelompok tertentu bukan oleh rakyat yang seharusnya. Perusahaan besar mengendalikan politik dan sebaliknya juga politik digunakan untuk keuntungan perusahaan besar. Kedaulatan ada di tangan rakyat. Namun wakil rakyat yang terbentuk dari sistem politik yang rusak dapat menghasilkan interpretasi yang berbeda atas kedaulatan tersebut.

Sebagai contoh, pasal 33 UUD 1945 yang menyebutkan bumi, air, dan kekayaan alam dikelola oleh negara dan digunakan semestinya untuk kepentingan rakyat membuat asumsi kata dikelola berarti hal tersebut boleh diswastanisasi asal negara mendapat royaltinya. Sehingga dalam hal air mineral saja, rakyat harus membelinya dari swasta padahal air adalah barang publik yang semestinya lebih bisa dikelola dengan bijak oleh pemerintah. Bahkan, penerapan Undang-undang 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus di Papua belum maksimal memberikan pelayanan yang maksimal bagi masyarakat Papua.

Jika rakyat Papua minta penentuan nasib sendiri (Seft Determination), hal yang sangat wajar saja dan itu hak masyarakat Papua. Disebab, kucuran dana otsus tidak maksimal digunakan untuk kepentingan masyarakat. Hingga sekarang, rakyat Papua tidak percaya dengan kehadiran pemerintah Indonesia di Papua. Diplomasi perjungan penetuan nasib sendiri (Self Determination) sudah mendunia.

  1. Masyarat Papua Belum Paham Arti Otsus

Pada penerapan Uandang-undang 21 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus di Papua. Menikmati kucuran dana adalah para penguasa. Masyarakat di jadikan objek kepentingan para penguasa di Papua. Masyarakat masih keliru dengan lahirnya otonomi khusus di Papua. Kepemimpinan terlalu “Nepotisme” mengabaikan nasib orang asli Papua secara khusus masyarakat yang seharusnya pelaku otonomi khusus di Papua itu.

Dinamika tersebut apakah diciptakan oleh penguasa di Jakarta atau pemerintah di Papua belum paham dalam aplikasi. Dari tahun ke tahun tak ada dampak positif bagi masyarkat di tanah Papua. Kesehatan di Papua belum mampu memberikan pelayanan layak bagi orang papua. Pendidikan, pada perekrutan beasiswa utusan daerah ke luar negeri masih terlalu nepotisme. Ekonomi masih dikuasai oleh non-Papua.

Penguasa di Papua, terlalu banyak propagandakan kinerja melalui media-media di Papua yang dibayar “Media Ampolop”  untuk beritakan kinerja birokrasi yang sesungguhnya tidak benar. Dari tahun ke tahun pemerintah pusat hanya banyak berkoar tentang eksistensi sumber daya alam di Papua. Soal eksistensi hidup orang papua tidak sama sekali jadi “tren topic” di tingkat nasional.

Birokrasi berjalan tanpa pengawasan secara imparsial oleh pemerintah pusat. Buktinya uang otonomi khusus di Papua di korupsi dengan sesukanya. Dengan belum mampunya pengawasan pejabat papua seenaknya kerut habis. Masyarakat menderita diatas tikar emas di tanah Papua.

Pemerintah pusat melalui DPR RI harus bentuk pansus untuk klarifikasi dana otonomi khusus di papua. Dari sejak undang-undang otonomi khusus dicetuskan di tanah Papua. Indes pembangunan manusia menjadi dasar utama keterlambatan pembangunan di Papua. Jika dana otsus digunakan secara maksimal tentu meningkatkan pembangunan sumber daya manusia dengan sumber dana otonomi khusus di Papua.

* Oleh : Jeckson Ikomou *

“Penulis adalah Ketua Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi Republik Indonesia (GNPK-RI) Provinsi Papua*

SEDANG MENULIS BUKU, TENTANG ; POLITIK KORUPSI DI PAPUA

Loading...

Comment

Silahkan nonaktifkan adblock anda untuk membaca konten kami.
Segarkan