Opini  

Seekor Sapi Bernama Freeport

Freeport telah lama diidentikkan sebagai perusahaan tambang besar yang akan menimbulkan kekacauan jika hengkang dari Indonesia. Kenyataannya malah sebaliknya. (Dok. PT Freeport Indonesia)
Loading...

Menitone.com – Apa yang dikatakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan saat menjawab pertanyaan aktivis Senat Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) soal Freeport pada Selasa (21/2), memang lucu dan sarkastis.

“Dulu, saat saya awal masuk ke Kementerian ESDM, saya pikir Freeport itu sebesar gajah, tapi ternyata hanya sebesar sapi.”

Kalimat kontroversial yang dilontarkan Jonan itu merujuk dari besaran retribusi Freeport terhadap penerimaan negara, dan nilai kapitalisasi Freeport-McMoRan Inc, induk PT Freeport Indonesia.

Nilai kapitalisasi pasar adalah nilai sebuah perusahaan berdasarkan perhitungan harga pasar saham dikalikan dengan jumlah saham yang beredar.

Loading...

Penerimaan negara dari Freeport tahun 2016 tercatat sekitar Rp8 triliun. Jumlah itu berasal dari royalti, pajak, dan bea keluar. Sebanyak Rp1,23 triliun, atau 15,37 persen merupakan penerimaan dari bea keluar.

Jumlah penerimaan dari Freeport tersebut masih kalah dibandingkan dengan setoran cukai perusahaan rokok, PT H.M. Sampoerna Tbk yang mencapai Rp29 triliun hanya dalam sembilan bulan awal tahun lalu.

Sementara, nilai kapitalisasi pasar Freeport-McMoRan Inc di New York Stock Exchange (NYSE) tercatat sebesar US$18,4 miliar atau setara Rp244,72 triliun per akhir pekan lalu.

Posisi itu masih di bawah PT Bank Mandiri Tbk yang bernilai Rp258 triliun, perusahaan terbesar ketujuh di lantai bursa Indonesia. Sementara posisi puncak di Indonesia masih ditempati oleh Sampoerna dengan nilai Rp452 triliun.

Jadi, pernyataan Jonan benar. Jika dibandingkan dengan Sampoerna menggunakan analogi gajah, maka Freeport memang sebesar sapi.

Namun, Freeport bisa jadi adalah sapi yang istimewa sejak masuk ke Papua dan ‘merumput’ cadangan tembaga dan emas Indonesia.

Bagaimana tidak? Keleluasaan Freeport untuk ‘merumput’ tak lepas dari terbitnya Undang-Undang (UU) Penanaman Modal Asing yang syarat kontroversi.

UU ini sangat nyentrik karena diterbitkan oleh Presiden Soeharto pada 1967, tak lama setelah Soekarno lengser akibat Surat Perintah 11 Maret (Super Semar). Intinya, Super Semar adalah tiket Soeharto untuk menjadi penguasa Indonesia saat itu.

Lebih nyentriknya lagi, setelah UU Penanaman Modal Asing, Freeport yang berasal dari Negeri Paman Sam menjadi perusahaan pertama yang menggunakan aturan tersebut untuk bisa menancapkan kukunya di gunung emas Papua. Waktu itu, namanya masih Freeport Sulphur Incorporated.

Padahal, pada 1967, status Irian Barat -yang terakhir kali diganti nama menjadi Papua oleh mantan Presiden Abdurahman Wahid- masih belum jelas. Pada 1962, status Irian Barat sempat dirundingkan oleh Indonesia dan Belanda melalui New York Agreement, yang tentu saja, difasilitasi oleh AS.

Hasilnya, Irian Barat akhirnya diserahkan kepada Indonesia melalui badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang disebut United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). Namun, penyerahan tersebut masih harus melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).

Pepera yang notabene menentukan status Irian Barat, baru dilaksanakan pada 1969. Padahal, Freeport sudah nongkrong di sana pada 1967 melalui UU Penanaman Modal. Dalam Pepera, rezim Soeharto memilih 1.026 orang sebagai perwakilan untuk menyatakan mufakat bergabung dengan Indonesia.

Hal itulah yang membikin Freeport menjadi sapi istimewa.

Oleh karena itu, Pepera yang dalam bahasa PBB disebut sebagai ‘Act of Free Choice’, kini sering diplesetkan menjadi ‘Act of No Choice’.

Perubahan Rezim

Sayangnya bagi Freeport, kini rezim telah berganti. Ia tak selamanya jadi sapi istimewa. Orde Baru telah ditumbangkan oleh Gerakan Reformasi 1998. Saat ini Freeport harus berhadapan dengan Pemerintah Indonesia yang dikomando seorang Joko Widodo.

Jokowi bersiap untuk menghadapi gertakan Freeport yang mengancam membawa masalah soal izin usaha dan ekspor mineral ke badan arbitrase internasional. Freeport bahkan memberi ultimatum 120 hari kepada Pemerintah Indonesia.

Apes bagi Freeport, gertakannya terhadap Pemerintah Indonesia malah membikin investor khawatir. Harga sahamnya terus melemah. Jika Freeport diibaratkan sapi, maka sahamnya adalah ‘daging’ yang punya harga di pasaran.

Sejak awal bulan ini, harga ‘daging’ Freeport telah merosot 20,42 persen, dari US$16,65 per potong, menjadi US$13,25 per potong pada Jumat (24/2).

Bahkan, lembaga keuangan asal Jerman, Deutsche Bank, memangkas rating ‘daging’ Freeport, dari “tahan” menjadi “jual”. Istilahnya, ‘daging’ Freeport lebih baik dijual saja ketimbang disimpan.

Tak hanya itu, Deutsche Bank juga memotong target harga ‘daging’ yang memiliki kode FCX ini, dari US$14 per potong, menjadi US$12,5 per potong.

Dalam beberapa bulan ke depan sesuai gertakan ultimatum, jika kisruh ini makin panas, maka kita mungkin bakal melihat kembali penurunan harga ‘daging’ Freeport di pasar modal AS.

Oh Freeport, oh sapi…

Penulis: Giras Pasopati
Penikmat sate kambing, bir, dan grup musik Nirvana. Pernah aktif di Pers Mahasiswa ‘Pasti’ Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Koran Tempo, Bisnis Indonesia, dan kini CNN Indonesia.

Loading...

Comment

Silahkan nonaktifkan adblock anda untuk membaca konten kami.
Segarkan