Menanti Janji Presiden Jokowi Merekonsiliasi Kasus Pelanggaran HAM

Mulai dari kasus 1965, penembakan misterius 1982-1985, Talang Sari di Lampung 1989, penghilangan orang secara paksa 1997-1998, kerusuhan Mei 1998, peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II. (ANTARA FOTO/Teresia May)
Loading...

Menitone.com – Berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu menjadi sejarah memilukan bagi Indonesia. Mulai dari kasus 1965, penembakan misterius 1982-1985, Talang Sari di Lampung 1989, penghilangan orang secara paksa 1997-1998, kerusuhan Mei 1998, peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II.

Hingga saat ini, para korban dan keluarga korban kasus pelanggaran HAM terus mendesak pemerintah segara mengambil tindakan untuk menyelesaikan kasus tersebut.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Nawacita-nya berjanji untuk mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM berat masa lalu tersebut. Namun sampai sekarang tak ada perkembangan yang berarti dalam proses penyelesaiannya.

Senin lalu (30/1), Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto menggelar pertemuan dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Salah satu pokok bahasan dalam pertemuan tersebut terkait dengan penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Loading...

Wiranto menyebut pemerintah sudah menyepakati proses non-yudisial atau rekonsiliasi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu, misalnya saja kasus 1965.

Menurutnya untuk melakukan proses rekonsiliasi bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan persyaratan-persyaratan khusus dan semangat yang sama. Tujuannya untuk bisa membuat sebuah institusi yang mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu agar bisa memberikan keadilan bagi semua pihak.

“Dengan cara-cara yang benar, baik yang adil dan bisa memenuhi kebutuhan semua pihak,” kata Wiranto.

Komnas HAM sebagai lembaga independen mitra pemerintah, mengapresiasi langkah pemerintah yang terus berupaya menyelesaikan kasus tersebut.

Ketua Komnas HAM Imdadun Rahmat menyebut selain menjalankan fungsinya sebagai penyeledik, Komnas HAM terus mendorong pemerintah untuk mencari alternatif penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

Terkait dengan kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, Imdadun mengatakan proses penyelesaian tetap didorong dengan cara yudisial. Namun, kata Imdadun, pilihan politik pemerintah saat ini adalah menggunakan cara non-yudisial atau rekonsiliasi.

Ketua SETARA Institute Ismail Hasani menyebut proses penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu tetap harus diselesaiakan dengan cara yudisial. Kalaupun dilakukan dengan cara nonyudisial atau rekonsiliasi harus diawali dengan pengungkapan kebenaran.

Ismail menyebut ada beberapa indikator yang bisa dijadikan dasar untuk menentukan proses penyelesaian dilakukan dengan cara yudisial atau non-yudisial. Pertama, bukti-bukti tidak ada. Kedua, saksi-saksi sudah sulit untuk dicari.

Menurutnya, proses yudisial dan non-yudisial tidak bisa digunakan bersamaan. Jika harus dilakukan secara bersamaan, pertama-pertama tetap harus dilakukan proses yudisial untuk memeriksa orang-orang yang diduga bersalah. Setelah melakukan pemeriksaan dan diketahui ada pihak yang bersalah, maka akan diberikan dua pilihan, hukuman atau rekonsiliasi.

“Direkonsiliasikan sebagai jalan kesepakatan itu bisa saja, sekalipun tidak lazim, secara hukum dia sudah terbukti bersalah maka tidak ada kompromi kecuali dia harus dihukum,” jelas Ismail saat dihubungi CNNIndonesia.com, Sabtu (4/2).

Ismail menyebut keputusan pemerintah yang disampaikan oleh Menkopolhukam ini justru menjadi bias politik. Pasalnya, kewenangan pilihan penyelesaian kasus HAM masa lalu bukan berada di tangan Menkopolhukam, melainkan di tangan Kejaksaan Agung.

Kalaupun Kejaksaan Agung menilai proses penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM tidak kredibel harus ada produk putusan penolakannya. Namun, yang terjadi sekarang Kejaksaan Agung belum memutuskan tetapi Menkopolhukam justru sudah mengambil keputusan.

“Ini kan laporan Komnas HAM belum dikaji Kejaksaan Agung, tiba-tiba loncat Pak Wiranto, Menkopolhukam mengambil keputusan itu,” kata Ismail.

Komisioner Komnas HAM Nur Kholis mengatakan Komnas HAM akan tetap mengikuti prosedurnya sebagai penyelidik. Komnas HAM, lanjut Nur Kholis tidak pernah berupaya untuk menghentikan proses yudisial, justru selalu mendorong proses yudisial itu berjalan semaksimal mungkin.

Senada dengan Hasani, Nur Kholis menyebut proses yudisial itu berdiri sendiri dan tidak bisa dilakukan bersamaa dengan proses non-yudisial. Proses yudisial bertujuan untuk pemenuhan hak-hak, misalnya saja pengungkapan kebenaran dan penegakkan keadilan bagi para korban.

“Kalau rekonsiliasi itu sebenarnya kami akan lebih banyak bekerja sama dengan kelompok akar rumput,” ujar Nur Kholis saat dihubungi.

Komnas HAM juga kembali menegaskan tidak sepakat penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu lewat proses rekonsiliasi. Menurut Nur Kholis, kasus pelanggaran HAM ini tidak hanya terkait dengan pemerintah saja, tetapi juga menyangkut para korban.

Ke depannya, diharapkan perbedaan-perbedaan pendapat oleh beberapa pihak ini terus bisa saling dikomunikasikan. Sehingga, dapat diperoleh proses penyelesaian yang bisa memberikan keadilan bagi semua pihak.

Pertanyaannya apakah proses rekonsiliasi untuk menyelesaiakan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu memang merupakan cara yang tepat? Ataukah proses rekonsiliasi itu hanya untuk kepentingan politik pihak-pihak tertentu saja?

Rasanya pemerintah harus segera mengambil langkah tepat untuk menyelesaikan persoalan ini. Tentunya dengan melibatkan pihak-pihak terkait, terutama para korban. Jangan sampai pemerintah mengambil keputusan yang hanya mementingkan segelintir orang dan lagi-lagi para korban harus menjadi korban ketidakadilan pemerintah.

[cnn/cnn]

Loading...

Comment

Silahkan nonaktifkan adblock anda untuk membaca konten kami.
Segarkan