Perbedaan Pola Jihad dan Sepak Terjang Teroris di Indonesia

Loading...

JAKARTA – Pecahnya kerusuhan narapidana teroris di Rutan Mako Brimob, Depok banyak dinilai sebagai pemicu rentetan aksi teror di Surabaya dan Riau. Aksi teror ini juga dinilai sama dengan kejadian tahun sebelumnya yang mengambil momen menjelang bulan Ramadan.

Tahun 2017 lalu, terjadi ledakan bom bunuh diri di terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur, pada Rabu (24/5/2018) yang menewaskan tiga personil kepolisian. Saat itu, kejadiannya juga terjadi jelang Ramadan.

Aksi teror yang terjadi di Indonesia belakangan dilakukan oleh kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Kelompok JAD erat kaitannya dengan ISIS. Keduanya terindikasi memiliki kesamaan pakem dan idelogi. Jauh sebelum JAD dan ISIS, ada kelompok Jamaah Islamiyah (JI) yang berjejaring dengan Al-Qaeda. JI adalah dalang di balik serangkaian bom di Indonesia sejak awal 2000.

Meski secara ideologi tak jauh berbeda karena sama-sama ingin mendirikan khilafah, namun antara JAD dan JI tentu berbeda. Hal ini juga tak lepas dari jejaring mereka, ISIS dan Al-Qaeda yang juga punya pandangan berbeda, baik dalam menentukan musuh, target, strategi, sampai pola jihad.

Loading...

Salah satu pola jihad yang kentara, misalnya saja JAD menggunakan anak-anak dan wanita dalam melakukan penyerangan. Menurut pengamat terorisme Adhe Bhakti penggunaan anak-anak dan wanita inilah salah satu yang membedakan antara JAD dengan JI maupun kelompok-kelompok teroris lainnya.

“Kalau di Jamaah Islamiyah itu tidak ada yang perempuan, semuanya laki-laki dan muda, tapi ISIS itu memberi kelonggaran kepada wanita dan anak-anak untuk ikut perjuangan,” kata Adhe kepada CNNIndonesia.com, Kamis (17/5/2018).

Penggunaan perempuan dan anak-anak menurut Adhe dilegitimasi oleh kelompok ISIS karena tengah terdesak dan tidak punya cara lain lagi. Selain itu penggunaan perempuan dan anak-anak dalam aksi teror oleh kelompok teroris yang berafiliasi dengan ISIS dianggap dapat meningkatkan tingkat keberhasilan terornya.

Dari informasi yang dihimpun, Al-Qaeda lebih menargetkan musuh mereka secara global dan jauh dari timur tengah. Sementara ISIS sebaliknya, lebih mengutamakan berperang melawan musuh-musuh terdekat.

Karakteristik Al-Qaeda dan ISIS dalam jihad pun turut berbeda. Kelompok-kelompok afiliasi Al-Qaeda dianggap lebih matang dalam menyusun strategi jihad serta lebih merusak dan mematikan ketimbang ISIS. Namun eksistensi Al-Qaeda pun memudar seiring waktu. Kelompok-kelompok yang dulunya berafiliasi ke Al-Qaeda, pun berbelok menjadi pengikut dan berbaiat ke ISIS.

Hal ini turut berimplikasi pada JI usai pemimpin mereka seperti Dr Azhari dan Noordin M Top ‘disikat’ aparat. Keberadaan JI yang terus melemah pun perlahan tergantikan oleh kelompok teroris baru, termasuk JAD.

Momentum Jihad
Tak cuma itu, pergeseran pakem lain dari JI dengan JAD momen yang digunakan dalam melangsungkan penyerangan. Sebelum-sebelumnya, kelompok teroris seperti JI tak pernah berjihad menjelang bulan Ramadan. Mereka tak pernah secara khusus mengambil hari tertentu untuk beraksi.

Sementara kelompok JAD ada kecenderungan melancarkan aksinya menjelang bulan Ramadan. Pun tak ada jaminan, mereka tak beraksi meski di bulan puasa.

Adhe menjelaskan, aksi di bulan puasa juga didasari karena para teroris memanfaatkan momentum bulan suci untuk mencari keberkahan dengan beramal. Seperti halnya umat muslim pada umumnya, para fundamentalis ini percaya apabila mereka melakukan amalan di bulan Ramadan niscaya akan dibalas berlipat-lipat pahala oleh Tuhan.

“Bulan Ramadan itu bulan penting bagi kelompok pengusung kekerasan dengan basis Islam fundamentalis sebagai latar belakang gerakannya, Bulan Ramadan bagi mereka adalah bulan jihad dan kemenangan,” kata Adhe.

Adhe menyebut penyerangan di bulan Ramadan menjadi sangat berpotensi tinggi terjadi, karena para musuh kelompok JAD, yakni polisi atau yang kerap mereka kategorikan sebagai tagut, sedang lebih banyak berjaga di luar ‘kandang’. Mulai dari pengamanan arus mudik dan balik hingga Idul Fitri. Hal itu dimanfaatkan oleh para fundamentalis ini untuk melancarkan aksi penyerangan. “Bahasa sederhananya menang banyaklah. Sasaran mereka biasanya banyak ada di bulan Ramadan,” ujar dia.

Menurut Adhe potensi lanjutan aksi teror di bulan Ramadan masih ada. Untuk itu polisi dan aparat keamanan harus meningkatkan kewaspadaannya di bulan puasa ini.

Reaksi Atas Penindakan Polisi
Pengamat Terorisme Zaki Mubarak menilai selain karena momentum menjelang Ramadan, serangkaian aksi teror yang terjadi belakangan ini bukan tak mungkin merupakan reaksi atas penindakan pihak kepolisian, khususnya Densus 88 Antiteror kepada rekan mereka di waktu-waktu sebelumnya.

Menurut dia dalam kurun waktu dua tahun terakhir banyak pengikut Aman Abdurahman ditangkap dan diproses hukum oleh pihak kepolisian. Aman yang disebut-sebut sebagai petinggi ISIS Indonesia ini juga sudah ditangkap dan tengah menjalani proses persidangan. “Mereka merasa marah dan membalas. Aksi reaksi, jadi pertemuan beberapa peristiwa termasuk kemarin mungkin bisa dikaitkan juga dengan proses persidangan Aman Abdurrahman,” terang Zaki.

Penangkapan Aman yang juga figur sentral JAD ini memberikan landasan teologis kepada mereka untuk menunjukan eksistensinya dengan melakukan penyerangan-penyerangan. “Ibaratnya ‘Anda jangan macam-macam dengan JAD, kalau macam-macam ya ini anda harus hadapi’,” tutur dia.

Zaki menilai aksi dan reaksi ini akan terus berlangsung ke depannya. Pasalnya permasalahan terorisme ini sudah menyebar dan bereproduksi mulai dari hulu hingga ke hilir. Ketika satu terduga teroris tertangkap atau terbunuh oleh polisi, kemungkinan besar keluarga yang ditinggalkannya akan terlantar. Keluarga yang terlantar itu menurut zaki akan menjadi rentan mengikuti ayah, ibu, atau kakak mereka menjadi teroris dan membalas dendam kepada aparat.

“Selama ini sudah lebih dari seribu teroris yang ditahan, ratusan teroris yang terbunuh. Itu kan banyak keluarga yang ditinggalkan, berantakan dan yang muncul akhirnya adalah reproduksi teroris, baik dari anak-anaknya, kawan-kawannya, maupun kerabatnya,” terangnya.

Aksi reaksi ini menurut Zaki mungkin bakal berlangsung di bulan Ramadan. Para teroris tersebut menganggap aksi penyerangan terhadap musuh merupakan ibadah dan akan mendapatkan pahala yang berlipat. “Aksi teror itu bisa jadi dianggap lebih mulia dari berpuasa itu sendiri,” terangnya.

[CNN Indoensia]

Loading...

Comment

Silahkan nonaktifkan adblock anda untuk membaca konten kami.
Segarkan