Keinginan Pemilu 2019 Kembali ke Era Soeharto

Ketua KPU Juri Ardiantoro bersama para komisioner KPU saat peresmian kantor baru KPU, Selasa, 27 Desember 2016. Tantangan KPU dalam menyelenggarakan pemilu akan makin kompleks. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Loading...

Menitone.com – Setelah berpuluh tahun pesta demokrasi lima tahunan digelar dengan sistem proporsional tertutup, pada 2004 sistem pemilihan umum diubah menjadi proporsional terbuka.

Perubahan sistem pemilu yang terjadi pada 2004 itu membawa angin segar bagi kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Tonggak baru dalam lembaran sejarah memilih wakil rakyat dimulai.

Sejak pemilu 1955 hingga 1999, pemilihan legislator digelar di bawah sistem proporsional tertutup. Sepanjang rezim presiden kedua RI Soeharto hingga setahun berjalannya era Reformasi, pemilih hanya memilih tanda gambar partai.

Artinya, suara itu jatuh untuk partai, yang kemudian didistribusikan ke daftar calon anggota legislatif yang disusun oleh bos partai yang secara implisit berada di balik tanda gambar yang dipilih oleh pemilih saat pencoblosan.

Loading...

Pada sistem proporsional terbuka —seperti yang sudah berlangsung sejak 2004— pemilih tidak lagi hanya memilih tanda gambar partai tapi juga sudah boleh memilih langsung nama calon legislator. Daftar caleg sudah eksplisit dimuat di surat suara supaya bisa dicoblos atau dicontreng.

Sistem tersebut mengacu pada Undang-Undang No 12/2003 tentang Pemilu Legislatif, yang pada Pasal 6 Ayat (1) menyatakan, “Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka.”

Partai “kakap” seperti Golkar dan PDI Perjuangan terang-terangan menginginkan sistem proporsional tertutup pemilu menyusul segera dibahasnya Rancangan Undang-Undang Pemilu (RUU Pemilu) di Dewan Perwakilan Rakyat.

Dalam konteks sistem proporsional tertutup ini Golkar dan PDIP ingin memperkuat kewenangan partai Serta mengeliminir dampaK negatif dari sistem proporsional terbuka.

Seperti yang dikatakan anggota Fraksi Golkar DPR Rambe Kamarul Zaman yang juga anggota Pansus RUU Pemilu yakni sistem proporsional tertutup untuk diaplikasikan dalam pemilihan legislatif.

Dengan sistem itu pemilih akan memilih partai, bukan memilih anggota partai yang mewakili daerah pemilihan. Partai yang akan memilih sendiri siapa saja anggota partai yang akan ditempatkan di DPR berdasarkan daerah pemilihan.

Perbedaan

Politikus PDIP yang duduk di DPR, Eva Kusuma Sundari dalam perbincangan dengan CNNIndonesia.com, Kamis (19/1), berdalih partainya memilih sistem proprosional tertutup karena sesuai dengan kegotongroyongan, paling mendekati musyawarah mufakat dalam Pancasila sila ke-4, mengikis politik uang, dan supaya representasi bisa diperbaiki.

“Melalui afirmasi misalnya perwakilan wong cilik, perempuan, penyandang cacat, petani, nelayan, dan lain-lain. Kalau tarung bebas bisa hilang mereka karena syarat-syarat duit dan popular tidak ada,” ujar Eva.

Eva menepis bila keinginan partainya itu sama halnya dengan kembali ke era Orde Baru. Eva mengklaim tetap ada sejumlah perbedaan yang mendasar. “Zaman Orba penuh intimidasi, PDIP dibikin kalah melulu, dan yang ada mobilisasi bukan partisipasi,” Eva menegaskan.

Berbeda dengan dua partai “tua” itu, Partai Kebangkitan Bangsa memilih sistem proporsional terbuka. Anggota DPR dari PKB M Lukman Edy mengemukakan alasan dipilihnya sistem terbuka yaitu memenuhi aspek asas pemilu yang berkualitas.

“Seperti asas proporsionalitas. Derajat disproporsional meningkat jika proporsional tertutup. Keterbukaan pemilu sebelumnya kami anggap sebagai sebuah kemajuan dalam konsolidasi demokrasi kita, oleh sebab itu tidak boleh mundur lagi,” tutur Wakil Ketua Komisi II DPR ini kepada CNNIndonesia.com, Jumat pagi (20/1).

Besar dan Mapan

Pengamat politik dari Universitas Padjajaran, Idil Akbar mencermati Golkar dan PDIP merupakan partai besar dan mapan yang secara organisatoris dan kader mereka sudah memiliki kemapanan yang tinggi.

Kader-kader Golkar dan PDIP sangat banyak dan cenderung militan, baik karena faktor ideologis maupun pragmatis. Karena itu, dengan proporsional tertutup sebetulnya mereka berupaya menguasai dan mendominasi parlemen.

Kenapa? Pertama, dari sisi kader, mereka siap karena punya kader yang populer dan memiliki elektabilitas yang kompetitif. Kedua, dari sisi sumber daya mereka juga siap, dan ketiga, sistem di internal mereka sendiri sudah cukup mapan.

Sepertinya di PDIP yang memiliki sekolah kader yang sudah mempersiapkan mereka yang bakal maju dalam pileg. Dengan sistem proporsional tertutup juga mereka berupaya menutup peluang bagi infiltrasi pengaruh dari parpol lain. Sebab, seperti sudah diketahui oleh umum, sistem proporsional terbuka akan membuat pertarungan politik menjadi lebih kompetitif.

Idil memandang akan cukup sulit PDIP dan Golkar untuk bisa mendominasi parlemen jika ada keterbukaan terhadap calon dan itu artinya memberi peluang bagi parpol lain untuk juga mendapatkan kursi di parlemen.

Kucing dalam Karung

Menurut Idil untuk saat ini sistem proporsional terbuka masih yang terbaik dan lebih baik untuk diteruskan. Sebab, rakyat pemilih tidak lagi seperti halnya memilih kucing dalam karung.

Rakyat juga secara jelas bisa mengetahui siapa saja yang akan menjadi wakil mereka dan lebih dari itu bisa dimintai pertanggungjawaban sebagai wakil rakyat.

“Masa iya kita harus kembali ke masa di mana rakyat tak perlu tahu siapa yang menjadi wakil mereka dan akhirnya membangun alienasi antara wakil dan rakyat yang diwakili,” ujar Idil kepada CNNIndonesia.com, Jumat (20/1).

Idil mengakui sebetulnya memang ada plus dan minus terkait masing-masing sistem yang diberlakukan.

Namun secara prinsip proporsional terbuka lebih baik karena di dalamnya membangun partisipasi rakyat secara langsung, terdapat keterbukaan dan transparansi serta membuat rakyat menjadi bagian dari demokratisasi politik yg dilakukan.

“Dan hal ini akan sulit didapatkan jika menggunakan sistem proporsional tertutup.”

(cnn/cnn)

Loading...

Comment

Silahkan nonaktifkan adblock anda untuk membaca konten kami.
Segarkan