Tokoh  

Prihatin Dengan Berkembangnya Politik Karnivora.

Dede Farhan Aulawi
Loading...

JAKARTA, Menitone.com – Politik adalah alat dan/atau strategi untuk mencapai tujuan. Narasi tentang tujuan dalam berpolitik nyaris sempurna bahwa semua bertujuan baik. Jargon demi kesejahteraan rakyat, untuk kemajuan rakyat, dan seterusnya merupakan jargon – jargon yang lazim terlihat dan terdengar mendekati pemilu. Baik berupa tulisan sampai orasi – orasi politik di atas panggung atau di media. Seandainya semua yang diucapkan itu benar, betapa manisnya nasib rakyat ini karena semua bicara demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Enak sekali jadi rakyat. Semua aktor dan artis politik begitu memanjakannya.

Jika ada suatu musibah banjir misalnya, semua ramai – ramai datang dengan seperangkat bantuan, bahkan tak lupa mediapun dipanggil untuk meliput kegiatan sosial tersebut. Sungguh sebuah demonstrasi empati yang dipamerkan untuk ditukar dengan sebongkah simpati agar rakyat memilihnya saat pemilu nanti. Terkadang beberapa media dimobilisasi untuk membangun sebuah citra yang sempurna. Inikah tujuan akhir dari proses politik ?

Benarkah media itu sendiri sebagai alat untuk membangun opini ? Akhirnya beredar informasi – informasi bahwa hasil surveypun bisa dibeli ? Bicara popularitas, bicara elektabilitas seringkali harus didesain dengan polesan “kebohongan publik”. Ilmu statistik kadangkala disalahgunakan hanya untuk sekedar membenarkan suatu ketidakbenaran. Apakah politik pada akhirnya akan menghalalkan segala cara ? Tentu tidak. Apalagi kita hidup di negeri yang memiliki falsafah Pancasila.

Dalam terminologi Politik Karnivora, yaitu suatu siasat untuk saling memakan dan memangsa seperti hewan – hewan predator. Hewan itu akan bisa tetap bertahan hidup jika ia sudah memangsa hewan lainnya. Tapi kalau tidak mau memangsa, maka ia sendiri yang akan mati. Jika itu hewan mungkin kita bisa maklum karena hal itu bagian dari rantai makanan dari siklus hidup binatang. Tapi bagaimana jika hal itu terjadi di tengah manusia ? Apa kita tidak prihatin ?

Loading...

Tidak sedikit orang yang mencalonkan diri dalam pemilu, baik untuk legislatif maupun eksekutif yang harus merogoh kocek yang sangat dalam dalam proses pencalonan itu. Saat mereka melakukan “safari politik” atau “silaturahmi politik” membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Permintaan – permintaan bantuan, seperti sarana olah raga, penyelesaian bangunan, perbaikan jalan, pembangunan fasos dan fasum serta berbagai aneka permintaan lainnya seringkali memberatkan. Kalau yang diminta memberikan bantuan maka dipuji – puji, tetapi saat tidak memberi dibilang pelit dan jangan dipilih. Munculah istilah, “Lha dia sendiri datang ke sini kan karena lagi butuh saja, butuh dukungan kita. Ya sekalian kita manfaatkan saja. Toh nanti setelah dia “duduk” juga belum tentu ingat dengan kita”. Politik “Karnivora” yang dilakukan oleh sebagian oknum masyarakat pada calonnya.

Politik Karnivora ini suatu waktu akan berbuah politik karnivora kembali. Misalnya sebagian orang yang sudah terpilih dan menduduki jabatan tertentu, belum tentu akan ingat sama rakyatnya. Ia akan berdalih bahwa dulu saat ia kampanye pun sering “dimangsa” oleh rakyatnya. Akhirnya saat ia bekerja untuk merumuskan suatu kebijakan, maka kebijakannya pun banyak yang tidak pro rakyat. Bagaimana ia akan pro rakyat, jika dalam memori otaknya ia merasa sering “dimangsa” rakyat. Akhirnya terjadi “balas dendam politik”, yaitu sikap karnivora rakyat dibalas dengan sikap karnivora kebijakan. Mau sampai kapan politik karnivora ini dipelihara ? Jika semua diam, jika semua tidak berusaha untuk merubahnya, maka karnivora politik akan terus berlangsung, yang kuat akan selalu memangsa yang lemah.

Mungkin mereka lupa, bahwa dasar dari politik Pancasila adalah politik yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berlandaskan Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial. Sungguh politik karnivora adalah politik yang tidak sesuai dengan Pancasila. Harus kita rubah menjadi sistem politik yang beradab, yaitu sistem politik Pancasila.

Ada tiga cara orang bisa mendapatkan uang, yaitu dengan cara :

1. Memeras yaitu memaksa meminta uang dengan dalih – dalih tertentu, dan ada “ancaman” jika permintaannya tidak digubris (seperti Politik Karnivora).

2. Memelas yaitu meminta uang dengan narasi yang dieksploitir menjadi sebuah tragedi sehingga diilustrasikan bahwa ia sedang benar – benar butuh bantuan keuangan (seperti Politik Pengembara).

3. Bermartabat yaitu mendapatkan uang dengan cara yang elegan, ada hasil karya yang bisa berupa produk barang atau jasa yang diberikan dan akhirnya ia mendapatkan uang (senafas dengan Politik Pancasila)

Mari kita kembali pada sistem politik yang benar. Maraknya politik karnivora tidak sejalan dengan Pancasila. Harus kita buang, dan kembali ke sistem politik yang bermartabat.(rls/rdk)

Oleh : Dede Farhan Aulawi

Loading...

Comment

Silahkan nonaktifkan adblock anda untuk membaca konten kami.
Segarkan