Aturan Baru Jual Beli Listrik Hambat Pembiayaan Proyek

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 10 Tahun 2017 mengenai klausul perjanjian jual beli listrik dibuat guna membuat pengembang swasta taat regulasi. (CNN Indonesia/Galih Gumelar)
Loading...

Menitone.com – Pengembang listrik swasta menilai, peraturan mengenai klausul perjanjian jual beli listrik (Power Purchase Agreement/PPA) terbaru yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 10 Tahun 2017 dapat menghambat pembiayaan proyek.

Setidaknya terdapat dua poin yang dikeluhkan yakni, risiko kondisi kahar yang disebabkan kebijakan pemerintah ditanggung oleh pengembang dan penggunaan rupiah untuk tarif pembelian listrik per Kilowatt-Hour (KWh).

Chairman of Legal, Policy Advocacy, and Regulation Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Paul Butar Butar mengatakan, peraturan baru tersebut membuat lembaga pembiayaan tak percaya dengan kemampuan pengembang swasta dalam mengembalikan pinjaman.

Pasalnya, sesuai pasal 8 beleid tersebut, risiko kondisi kahar yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah (government force majeure) juga ikut ditanggung oleh pengembang. Menurutnya, hal itu sangat memberatkan, apalagi government force majeure bukan disebabkan karena kesalahan pengembang.

Loading...

“Di dalamnya ada klausul yang sangat tidak bankable buat perbankan, yaitu risiko force majeure karena kebijakan pemerintah. Bagaimana bisa, pengembang menanggung risiko dari kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah?” jelas Paul di Kementerian ESDM, Selasa (9/5).

Hal tersebut menurut dia, baru diketahui ketika anggota METI mencoba mendekati pembiayaan internasional untuk proyek-proyek ketenagalistrikan bertenaga Energi Baru Terbarukan (EBT). Paul berharap, pemerintah mau mengganti klausul ini karena tidak sesuai dengan sistem di instansi pemerintah lainnya.

“Ini sangat berbeda dengan proyek-proyek yang diawasi Kementerian Keuangan, di mana seluruh government force majeur ditanggung oleh pemerintah,” paparnya.

Selain karena government force majeur, lembaga pembiayaan juga dikatakan sangsi membiayai proyek ketenagalistrikan karena tarif pembelian listrik menggunakan denominasi Rupiah per Kilowatt-Hour (KWh).

Ketua Umum Asosiasi Pengembang PLTA (APPLTA ) Riza Husni mengatakan, penjualan listrik dari pengembang ke PT PLN (Persero) seharusnya menggunakan basis Dollar AS yang kemudian dikonversi ke dalam denominasi Rupiah. Pasalnya, bunga pinjaman dengan Dollar AS lebih kecil dibanding bunga dalam denominasi Rupiah.

Menurut data Bank Indonesia per Maret 2017, rata-rata bunga kredit modal kerja dengan mata uang Rupiah bertengger di posisi 9,83 persen hingga 11,74 persen. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan bunga kredit modal kerja Dollar AS yang berada dalam posisi 3,65 persen hingga 7,22 persen.

“Tentu kami inginnya tarif setrum dibayarkan dalam Dollar AS agar kami bisa menggunakan pembiayaan dalam negeri dan mengurangi risiko bunga pembiayaan yang besar dalam denominasi Rupiah. Beda bunga kredit antara keduanya kan cukup jauh, sekitar 8 persen,” paparnya.

Menurutnya, bunga pinjaman yang kecil akan meringankan risiko investasi pembangkit setelah formulasi tarif setrum pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) diganti dari harga tetap (fixed price) menjadi 85 persen dari Biaya Pokok Pembangkit (BPP). Pasalnya, pengusaha sudah meramal ketidakpastian pengembalian (return) investasi karena nilai BPP PLN berubah setiap tahunnya.

“Ini sebenarnya upaya yang bisa dilakukan pemerintah untuk membantu pengembang listrik swasta secara internal,” terangnya.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, pengembang listrik swasta harus pandai mencari lembaga pembiayaan. Jika lembaga pembiayaan domestik tidak mau membiayai pembangkit EBT, maka pengembang perlu mencari lembaga pembiayaan asing yang bersedia.

“Jika bunga perbankan dalam negeri ketinggian, bisa mencari pembiayaan luar negeri,” pungkasnya.

[cnn/cnn]

Loading...

Comment

Silahkan nonaktifkan adblock anda untuk membaca konten kami.
Segarkan