Ekonom Peringatkan Sri Mulyani Soal Defisit Anggaran

Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi dampak dari penggunaan utang korporasi dan BUMN yang diyakini akan memengaruhi ekonomi nasional. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono).
Loading...

Menitone.com – Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) memperingatkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan bahaya defisit anggaran yang membelit RAPBN-P 2017. Di sisi lain, target penerimaan negara turun 2 persen menjadi Rp1.714 triliun dari APBN 2017 sebesar Rp1.750 triliun.

Berdasarkan keterangan resmi CORE yang diterima CNNIndonesia.com, Rabu (12/7), penurunan target penerimaan pajak berkontribusi hingga 85 persen dari total penerimaan negara. Yaitu, dari Rp1.498 triliun menjadi hanya Rp1.450 triliun.

Sementara, di sisi lain pagu belanja negara justru ditargetkan naik dari Rp2.080 triliun menjadi Rp2.111 triliun. Belanja subsidi meroket paling tinggi, yakni hingga 14 persen dari Rp160 triliun pada APBN 2017 menjadi Rp182 triliun pada RAPBN-P 2017.

Adapun, belanja kementerian dan lembaga meningkat dari Rp763 trilun menjadi Rp 773 triliun. Sementara itu, alokasi untuk Transfer Daerah dan Dana Desa turun dari Rp764 triliun menjadi Rp 759 triliun pada periode yang sama.

Loading...

Dengan demikian, defisit anggaran yang sebelumnya ditargetkan Rp 330 triliun atau 2,41 persen terhadap PDB melonjak menjadi Rp397 triliun atau 2,92 persen terhadap PDB.
Kondisi ini berdampak pada peningkatan pembiayaan anggaran lewat utang. Pembiayaan utang pada RAPBN-P 2017 dipatok Rp 397 triliun atau meningkat 20 persen dibandingkan RAPBN 2017 yang mencapai Rp 330 triliun.

“Kebijakan yang diambil pemerintah dalam mengelolah anggaran pada RAPBN-P 2017 bukanlah tanpa konsekuensi. CORE menggarisbawahi beberapa catatan yang perlu diperhatikan pemerintah dalam pengelolaan RAPBN-P 2017 tersebut,” ujar Mohammad Faisal, Ekonom CORE, Rabu (12/7).

Pertama, kebijakan pemerintah untuk memperluas sumber penerimaan baru jangan sampai membuat daya beli masyarakat semakin tertekan. Saat ini, konsumsi masyarakat yang menjadi penyumbang utama PDB mengalami perlambatan

Ia menilai, hal ini tercermin dari melemahnya konsumsi produk-produk ritel sejak tahun lalu. Salah satu kebijakan pemerintah yang sangat berpotensi untuk menggerogoti daya beli masyarakat, khususnya golongan berpendapatan rendah, yakni pengenaan PPN 10 persen terhadap hasil panen tebu.

Pasalnya, kondisi petani, termasuk petani tebu, tengah mengalami penurunan daya beli akibat pendapatan yang mereka terima terus menyusut. Hal ini terlihat dari Nilai Tukar Petani (NTP) tanaman perkebunan yang melemah dalam lima tahun terakhir (Grafik I). Pengenaan PPN 10 persen terhadap hasil panen tebu tentu akan membebani petani.

Untuk lebih banyak mendapatkan pemasukan negara, ia menyarankan, pemerintah lebih fokus untuk meningkatkan pendapatan dari Wajib Pajak Badan dan Orang Pribadi yang saat ini telah terjaring pada tax amnesty (amnesti pajak).

Tak cuma itu, termasuk juga memperkuat kapasitas Direktorat Jenderal Pajak untuk meningkatkan penerimaan pajak dari Wajib Pajak yang selama ini belum tersentuh. Apalagi, mengingat target penerimaan pajak dalam beberapa tahun terakhir terus menurun.

Kedua, Faisal memperingatkan, pemerintah perlu lebih realistis dalam menetapkan asumsi-asumsi makro, sehingga tidak menyebabkan deviasi yang terlalu jauh pada realisasi APBN. Ambil contoh, penetapan harga minyak mentah yang diajukan pada RAPBN-P 2017 naik menjadi US$50 per barel dari APBN 2017, yaitu US$45 per barel.

Pemerintah beralasan harga minyak mentah akan lebih baik tahun ini. Padahal, tren harga minyak tahun ini diperkirakan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan proyeksi pemerintah. Memang, komitmen pemangkasan produksi OPEC sempat meningkatkan harga minyak.

Namun, penurunan tersebut disertai dengan peningkatan produksi minyak shale Amerika Serikat, termasuk Nigeria dan Libya. Dampaknya, oversupply (kelebihan pasokan) produksi minyak mentah kembali menekan harga minyak mentah internasional.

“Nah, dengan tertekannya harga minyak internasional, maka target penerimaan pajak sektor Migas dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) akan meleset,” imbuh Faisal.

Dalam pengajuan RAPBN-P 2017 pemerintah meyakini defisit anggaran tidak akan menyentuh 2,92 persen terhadap PDB. Hal ini didasarkan pada keyakinan pemerintah bahwa realisasi belanja negara hanya akan berkisar di angka 96-97 persen, sehingga defisit hanya mencapai 2,67 persen terhadap PDB.

Tidak tercapainya realisasi anggaran akan berakibat pada munculnya sisa lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran (SiLPA). SiLPA menggambarkan anggaran yang tidak digunakan dalam APBN tahun sebelumnya.

“Sisa anggaran menjadi isu penting, mengingat pembiayaan anggaran saat ini banyak dilakukan dengan menerbitkan surat utang, penerbitan surat utang mempunyai konsekuensi bertambahnya bunga utang,” terangnya.

Ketiga, pemerintah perlu selektif dalam melakukan pemangkasan anggaran dengan memprioritaskan anggaran yang tidak banyak berdampak langsung pada akselerasi pertumbuhan ekonomi.

Keputusan Pemerintah untuk memotong anggaran Transfer Daerah dan Dana Desa pada RAPBN-2017 dari Rp764 triliun menjadi Rp759 akan berdampak secara langsung pada melemahnya kinerja ekonomi daerah yang mendapatkan potongan.

Di sisi lain, pemerintah justru menaikkan anggaran cadangan pendidikan dalam bentuk Sovereign Wealth Fund sebesar Rp8 triliun yang efeknya lebih bersifat jangka panjang. Padahal, dalam situasi perlambatan seperti saat ini, kebijakan ekspansi fiskal harus memprioritaskan pembiayaan yang berdampak langsung pada perekonomian sebagai counter-cyclical terhadap pelemahan pertumbuhan ekonomi.

Keempat, ia melanjutkan, pemerintah harus menghentikan kecenderungan pembiayaan anggaran melalui utang yang terus meningkat dengan cepat dalam beberapa tahun terakhir, serta memperbaiki manajemen risiko utang.

Pada APBN 2017, bunga utang yang ditanggung pemerintah mencapai Rp221 triliun atau naik 221 persen dibanding pembayaran bunga utang pada APBN-P 2016 yang mencapai Rp182 triliun.

Dalam tiga tahun terakhir, rata-rata peningkatan pembayaran bunga utang per tahun mencapai 18 persen, jauh lebih tinggi dibanding periode 2009-2014 yang rata-rata per tahun meningkat 7 persen. Dengan semakin besarnya porsi pembiayaan melalui utang pada RAPBN-P 2017, pemerintah harus lebih mencermati risiko suku bunga.

Pasalnya, meskipun, surat utang indonesia telah mendapat label investment grade oleh beberapa lembaga pemeringkat kredit, namun tidak berarti surat utang Indonesia terbebas dari risiko pasar, seperti potensi kenaikan suku bunga The Fed dan European Central Bank (ECB) yang mengakibatkan perebutan likuditas obligasi global semakin ketat.

Di samping itu, penerbitan surat utang negara (SUN) juga akan menimbulkan crowding out effect karena penerbitan SUN akan menyerap likuiditas di pasar keuangan. Sehingga, pasar obligasi akan kekurangan likuiditas akibat sepi peminat. Kondisi ini akan mendorong pihak swasta mencari alternatif pembiayaan lain seperti utang dari luar negeri.

 

Sumber: CNN Indonesia

Loading...

Comment

Silahkan nonaktifkan adblock anda untuk membaca konten kami.
Segarkan