Terancam PHK, 33 Ribu Pekerja Freeport Indonesia Minta Kepastian Negara

Permintaan itu digulirkan pasca perusahaan tempat mereka bekerja tidak bisa melakukan ekspor karena terhalang Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2017. (ANTARA FOTO/Vembri Waluyas)
Loading...

Menitone.com – Gabungan karyawan kontrak dan privatisasi PT Freeport Indonesia yang tergabung di dalam Gerakan Solidaritas Peduli Freeport (GSPF) meminta kepastian kelangsungan hidup kepada pemerintah.

Permintaan itu digulirkan pasca perusahaan tempat mereka bekerja tidak bisa melakukan ekspor karena terhalang Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 6 Tahun 2017.

Pasalnya, dengan berhentinya ekspor, maka kegiatan operasional perusahaan juga terhenti. Sehingga, hal tersebut menyebabkan 33 ribu pekerja tak memiliki kepastian ihwal penghidupan setelah ini.

Perwakilan GSPF Virgo Henry Solossa mengatakan, pemerintah seharusnya tidak membuat peraturan yang terasa memberatkan bagi pekerja Freeport. Karena dengan hilangnya pendapatan pegawai, maka anggota keluarga pekerja juga secara langsung kehilangan akses pendidikan dan kesehatan.

Loading...

“Apabila ngotot dengan regulasi yang ada, kami minta pemerintah menjamin kelangsungan hidup 132 ribu orang yang terdiri dari pekerja Freeport dan anggota keluarganya,” jelas Virgo melalui sambungan telepon kepada CNNIndonesia.com, Jumat (17/2).

“Apabila pemerintah tidak serius, pekerja Freeport dan keluarga yang notabene anak bangsa, akan melangkah dengan tegas.”

Lebih lanjut ia mengatakan, pemerintah seharusnya mempertimbangkan dampak dari peraturan yang dibuat. Jangan sampai, kebijakan yang diimplementasikan membebani pekerja yang berhubungan langsung dengan operasional perusahaan.

Kendati demikian, bukan berarti pekerja Freeport anti dengan hilirisasi mineral. Tetapi menurut Virgo, peraturan yang ada membuat keputusan investasi Freeport menjadi tidak tentu. Hal itu, tambahnya, tentu saja akan berdampak ke penyesuaian jumlah karyawan.

“Saya kira masalah regulasi ini yang perlu diperhatikan. Freeport kan butuh kepastian investasi, tapi pemerintah hanya memberi pengusaha lima tahun untuk investasi.”

“Lalu, di masalah perpajakan, kalau sifatnya mengikuti prevailing kan tidak ada kepastian. Kalau fiskalnya flat, kan tentu saja itu tak mengganggu keuangan perusahaan,” lanjutnya.

Sebagai langkah komunikasi, GSPF telah melakukan aksi berjumlah seribu orang di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Mimika, Papua pagi hari tadi. Setelah itu, GSPF juga melakukan audiensi ke Kantor Bupati Kabupaten Mimika pada siang harinya.

Kunjungan itu, lanjutnya, untuk menyamakan persepsi dan meyakinkan pemerintah pusat untuk mempertimbangkan aturan yang dibuat.

Selain itu, rencananya GSPF juga akan mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta agar masalah Freeport ini tidak berubah menjadi komoditas politik.

“Kami beri tenggat waktu satu minggu bagi pemerintah untuk merespons permintaan kami. Jika pemerintah tidak serius, kami akan menutup perusahaan dan bangunan administrasi di Papua,” jelas Virgo.

Sayangkan Pernyataan Pemerintah

Di samping itu, ia menyayangkan pernyataan pemerintah yang seolah tak acuh akan nasib pekerja Freeport. Padahal, seluruh pekerja Freeport yang terancam dirumahkan adalah Warga Negara Indonesia (WNI)

“Kami tetap akan perjuangkan kelangsungan hidup. Karena kami yakin, pemerintah pasti tak sanggup berikan kompensasi atas potensi hilangnya pendapatan kami dan akses keluarga kami untuk mendapatkan pendidikan dan kesehatan,” tandasnya.

Sebelumnya, induk usaha Freeport Indonesia, Freeport-McMoran Inc mengatakan akan mengurangi tenaga kerja, menahan investasi pertambangan bawah tanah, dan mengurangi produksi menjadi 40 persen dari kapasitas total agar sesuai dengan kapasitas yang dimiliki PT Smelting jika pemerintah tak segera mengeluarkan izin ekspor bagi perusahaan.

Keputusan ini dilakukan lantaran perusahaan tidak bisa melanjutkan ekspor setelah terhalang Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2016 yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017.

Di dalam peraturan tersebut, izin ekspor bisa diberikan asal izin usaha berbentuk Kontrak Karya (KK) berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Sebelumnya, Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM Bambang Gatot tak ambil pusing dengan pengurangan tenaga kerja Freeport. “Kalau dia dalam rangka efisiensi, konservasi, bisa-bisa saja,” ujarnya, kemarin.

Sementara itu, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution menganggap, pengurangan tenaga kerja hanya gertak sambal Freeport agar bisa ekspor. “Ya kalau itu (pangkas produksi dan karyawan) bagian dari tekan menekan. Tidak usah didengarkan,” kata Darmin, Rabu pekan ini.

[cnn/cnn]

Loading...

Comment

Silahkan nonaktifkan adblock anda untuk membaca konten kami.
Segarkan