AMERIKA SERIKAT – Sejak beberapa bulan terakhir angin perdamaian membawa kehangatan di Semenanjung Korea. Dimulai dari Olimpiade Musim Dingin di Korea Selatan sampai pada puncaknya 27 April lalu pemimpin Korea Utara Kim Jong-un bertemu buat pertama kali dengan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in di Zona Larangan Militer.
Dalam pertemuan itu kedua pemimpin sepakat mewujudkan perdamaian untuk mengakhiri konflik sejak Perang Korea 1950-1953. Yang terpenting dari pertemuan itu Kim dan Moon sama-sama berkomitmen akan mencapai Semenanjung Korea yang bebas nuklir.
Tak hanya itu Kim juga menyampaikan, dengan Moon sebagai mediator, dia bersedia menjalin pertemuan dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk membahas denuklirisasi dan pencabutan sanksi ekonomi.
Kabar ini disambut baik oleh Amerika Serikat yang selama ini menjadi sekutu Korea Selatan. Trump mengatakan dia sudah tidak sabar untuk bertemu Kim untuk membuat kesepakatan bersejarah. Kedua negara kemudian mengadakan pertemuan untuk mewujudkan peristiwa yang akan bersejarah itu.
Direktur CIA yang kemudian menjadi Menteri Luar Negeri Mike Pompeo terbang ke Pyongyang untuk bertemu dengan Kim Jong-un. Sebagai tanda awal untuk menjalin pertemuan, Korut membebaskan tiga tawanan asal AS yang selama ini ditahan di kamp kerja paksa di Korut.
Pertemuan pun akhirnya disepakati terjadi pada 12 Juni di Singapura. Namun belakangan Korea Utara mengancam akan membatalkan pertemuan jika Presiden Donald Trump terus mendesak Korut menyerahkan persenjataannya.
“Jika pemerintahan Trump terus memojokkan kami secara sepihak dan menuntut kami menyerahkan senjata nuklir, kami tidak lagi memiliki minat untuk melakukan pembicaraan dan akan kembali mempertimbangkan untuk menerima KTT Korut-AS mendatang,” kata Wakil Pertama Menteri Luar Negeri Korut, Kim Kye Gwan dikutip dari Channel News Asia, Rabu (16/5/2018).
Presiden AS itu dikatakan terkejut dan marah dengan langkah Korut yang menarik kembali pernyataan mereka. Juru runding Pyongyang dalam isu nuklir mengatakan mereka tidak akan menukar kemampuan nuklir dengan bantuan ekonomi.
Situasi menjadi kian tak menentu ketika Wakil Menteri Luar Negeri Korea Utara Choe Son Hui menilai apa yang dikatakan Wakil Presiden AS Mike Pence soal model pelucutan senjata ala Libya untuk Korea Utara, adalah sebuah pernyataan yang bodoh.
Pence sebelumnya mengancam bahwa Korea Utara akan bernasib sama seperti Libya jika gagal membuat kesepakatan nuklir dengan AS.
Komentar Pence dipandang sangat menyengat bagi Korea Utara. Beberapa hari sebelumnya pernyataan yang sama dilontarkan Penasihat Keamanan Nasional John Bolton yang terlibat masalah dengan Pyongyang karena mengusulkan model denuklirisasi ala Libya.
Dalam sebuah pernyataan yang penuh emosi minggu lalu, pemerintahan Kim menjelaskan bahwa dia menolak semua perbandingan atas Libya, yang secara sukarela menyerahkan ambisi nuklirnya pada tahun 2003 sebagai ganti pencabutan sanksi.
Pemimpin negara Muammar Qadafi akhirnya tewas di tangan pemberontak yang didukung Barat pada 2011.
Menanggapi reaksi kemarahan pihak Korut itu kemarin Trump akhirnya membatalkan rencana pertemuan dengan Kim.
Dalam surat tertulisnya kepada Kim yang dirilis Gedung Putih, Trump mengatakan “Sayangnya, karena pernyataan Anda baru-baru ini yang penuh kemarahan dan jelas mengajak bermusuhan, saya merasa tidak layak, untuk saat ini, kita mengadakan pertemuan yang sudah direncanakan sejak lama.”
Dengan surat itu pupus sudah rencana pertemuan Trump dengan Kim di Singapura 12 Juni nanti. Dunia tampaknya masih harus menunggu apa yang akan terjadi selepas Trump menulis surat pembatalan itu.
[Merdeka]
Comment